Noda di Manisnya Sejarah Pebulu Tangkis Tionghoa
https://trendbintang.blogspot.com/2016/08/noda-di-manisnya-sejarah-pebulu-tangkis.html
Sepanjang sejarah Indonesia, etnis Tionghoa adalah peletak pondasi kejayaan bulutangkis Indonesia. (Antara/Saptono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Jua.
Demikian tulisan yang ada di lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam kehidupan berbangsa, kalimat tersebut memiliki peran vital karena merupakan perwujudan karakteristik Indonesia yang satu dalam keanekaragaman.
Demikian tulisan yang ada di lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam kehidupan berbangsa, kalimat tersebut memiliki peran vital karena merupakan perwujudan karakteristik Indonesia yang satu dalam keanekaragaman.
Etnis Tionghoa sebagaimana etnis dan suku lainnya di tanah air, adalah bagian dari Indonesia. Meskipun dicap sebagai pendatang, sejarah etnis Tionghoa di Indonesia sendiri sama panjangnya dengan sejarah bangsa.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa beban sejarah menunjukkan bahwa etnis Tionghoa pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif. Bukan hanya warga biasa, melainkan juga para pebulu tangkis etnis Tionghoa yang nyata-nyata telah mengusung nama Indonesia dengan prestasi-prestasi mengagumkan.
"Saat orde lama, tidak ada itu pengelompokkan mana pribumi mana Tionghoa. Semua Indonesia," ucap Tan Joe Hok mengenang.
"Namun memang semua berubah sejak perpindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Semua tentu bernuansa politis," kata juara All England 1959 ini menambahkan.
Salah satu kebijakan tak menyenangkan menurut Tan Joe Hok adalah saat dirinya diminta untuk mengganti namanya dan melepaskan unsur Tionghoa dalam namanya.
"Saya bingung. Apa salah nama saya, selama saya tidak berbuat jahat maka seharusnya tidak masalah," kata Tan Joe Hok kembali bertanya.
"Semua warga Tionghoa diminta untuk mengganti nama. Beberapa pebulu tangkis pun mengganti namanya seperti Ang Tjin Siang menjadi Muljadi. Saya sendiri akhirnya harus mengganti nama saya," tutur Tan Joe Hok.
Tan Joe Hok mengalami pergulatan batin saat melakukan pemilihan nama pengganti bagi dirinya.
"Akhirnya saya memilih nama Hendra Kartanegara. Paling tidak masih ada kata 'Tan' nya," tutur Tan Joe Hok.
Namun menariknya, Tan Joe Hok justru mengaku sama sekali merasa tidak ada masalah dengan Presiden Soeharto yang merupakan penguasa Orde Baru.
"Pak Harto secara individu justru baik terhadap saya. Pernah saya sempat diminta pindah dari tempat tinggal saya di Semanggi. Saat itu saya langsung lapor Pak Harto dan akhirnya saya tidak jadi diusir," kata Tan Joe Hok.
"Saya juga bingung sebenarnya bagaimana menjelaskan soal diskriminasi itu. Karena bagi saya itu kental unsur politisnya," tuturnya menambahkan.
Para warga etnis Tionghoa juga harus mempunyai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Dalam kolom KTP warga etnis Tionghoa pun ada tanda yang membedakan mereka dengan warga negara Indonesia lainnya.
"Memang ada perbedaannya dan kami harus mengurus SBKRI tersebut lewat beberapa proses," ucap Christian Hadinata mengenang.
Tak Mengutarakan Keluh Kesah
Christian Hadinata adalah tokoh kunci supremasi bulu tangkis Indonesia di era 70-an atau era ketika Piala Thomas tak pernah lepas dari genggaman Indonesia.
"Arak-arakan selalu ramai menyambut kami setiap kami pulang. Bertemu Presiden pun menjadi hal yang lazim karena setiap pergi ke sebuah turnamen kami pasti pamitan ke Istana," tutur rekan duet Ade Chandra ini.
Meski punya kesempatan bertemu Presiden dalam beberapa momen, Christian sendiri memilih tidak mengutarakan keluh kesahnya.
"Kalau dipikir memang ada perbedaan perlakuan, namun saya tidak mau protes dan menjalani semua proses yang diminta pemerintah. Apapun yang diminta pemerintah saya lakukan," tutur Christian.
"Karena prinsip hidup saya adalah 'Jangan tanya apa yang negara berikan padamu, tetapi tanya apa yang bisa kamu berikan pada negaramu,' jadi saya tidak mau banyak tanya," kata pria asal Purwokerto ini menegaskan.
Manisnya prestasi pebulu tangkis etnis Tionghoa dari generasi ke generasi ternyata juga diiringi oleh perlakuan diskriminatif yang tetap setia menemani.
Ivana Lie menjadi korban diskriminasi di era 1980-an saat dirinya kesulitan mendapatkan identitas diri. Padahal, Ivana Lie sudah berkali-kali mengharumkan Indonesia di turnamen internasional.
"Saat itu saya jadi pelatih di pelatnas. Soal Ivana, dia selalu diberi semacam surat saat pergi keluar negeri namun kemudian surat itu ditarik kembali begitu ia kembali ke Indonesia," kata Tan Joe Hok.
Barulah setelah turun tangan banyak pihak kewarganegaraan Ivana menjadi jelas dan tidak terombang-ambing.
Turun tangan banyak pihak dan membuat kasus menjadi besar sepertinya juga menjadi solusi agar persoalan diskriminasi yang dialami oleh pebulu tangkis etnis Tionghoa.
Contoh lain ada pada kasus Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Semua bersorak meneriakkan nama Alan dan Susi dalam balutan seruan 'Hidup Indonesia!' saat mereka sukses membawa pulang medali emas dari Olimpiade Barcelona 1992, namun ternyata hal itu tidak cukup bagi mereka untuk mendapatkan kemudahan dalam mengurus dokumen.
"Saat saya ingin mengurus perizinan pernikahan, sulit sekali untuk mendapatkan SBKRI, padahal saya sudah bolak-balik pengadilan. Sebelumnya saya tidak begitu paham mengenai dokumen-dokumen seperti itu karena orang tua saya yang mengurus dan saya masih ikut dokumen mereka," ucap Susi bercerita.
"Saya jelas kecewa saat itu sampai-sampai saya berucap apakah saat memenangi emas Olimpiade, ada tanda SBKRI di belakang baju saya. Tidak kan? Hanya ada tulisan Indonesia," tuturnya mengenang.
Barulah ketika Susi bercerita ke media dan kasus itu diketahui banyak orang, pengurusan dokumen jadi cepat selesai.
"Setelah pemberitaan ramai, semua dokumen selesai kurang dari sebulan," tutur Susi.
"Saya tentu bingung dengan adanya kasus yang menimpa. Yang jelas saya lahir di Tasikmalaya, dari kecil di Indonesia dan sampai nanti pun tua di sini," kata Susi yang juga fasih berbahasa sunda ini seolah mewakili perasaan rekan-rekannya.
Di ambang pergantian Orde Baru ke Era Reformasi, kasus diskriminasi terhadap etnis tionghoa di dunia bulu tangkis pun masih terjadi.
Tong Sin Fu, pelatih pelatnas PBSI sejak era 80-an kesulitan mendapatkan kewarganegaraan Indonesia padahal dirinya lahir di Indonesia. Alhasil, Tong Sin Fu yang kecewa pun memilih pergi ke Tiongkok dan menjadi salah satu tokoh penting munculnya dominasi Tiongkok di dunia bulu tangkis pada era 2000-an.
Masuk ke era reformasi pun, kasus diskriminasi masih terjadi. Hendrawan yang merupakan juara dunia 2001 dan bagian penting dari Tim Piala Thomas Indonesia kesulitan untuk mendapatkan status WNI. Hal ini tentu mengundang keprihatinan banyak orang. Kasus baru selesai ketika Presiden turun tangan.
Hendra Setiawan, pebulu tangkis etnis Tionghoa yang saat ini menjadi tulang punggung bulu tangkis berharap ke depannya, tidak ada lagi cerita-cerita yang menyedihkan tersebut.
"Kita sama-sama bangsa Indonesia. Mari kita sama-sama bekerja keras mengharumkan nama bangsa tanpa membeda-bedakan," kata Hendra.
"Saya sama sekali tidak ada dendam terhadap apa yang terjadi pada saya dalam hidup ini. Saya tetap mencintai Indonesia," tutur Tan Joe Hok.
Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetap satu jua.
Etnis Tionghoa satu dari ribuan keragaman yang dimiliki Indonesia. Mereka adalah bagian dari Indonesia dan sejarah telah membuktikan bahwa mereka juga telah mengisi kemerdekaan dengan torehan-torehan prestasi yang mengagumkan.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa beban sejarah menunjukkan bahwa etnis Tionghoa pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif. Bukan hanya warga biasa, melainkan juga para pebulu tangkis etnis Tionghoa yang nyata-nyata telah mengusung nama Indonesia dengan prestasi-prestasi mengagumkan.
"Saat orde lama, tidak ada itu pengelompokkan mana pribumi mana Tionghoa. Semua Indonesia," ucap Tan Joe Hok mengenang.
"Namun memang semua berubah sejak perpindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Semua tentu bernuansa politis," kata juara All England 1959 ini menambahkan.
Salah satu kebijakan tak menyenangkan menurut Tan Joe Hok adalah saat dirinya diminta untuk mengganti namanya dan melepaskan unsur Tionghoa dalam namanya.
"Saya bingung. Apa salah nama saya, selama saya tidak berbuat jahat maka seharusnya tidak masalah," kata Tan Joe Hok kembali bertanya.
"Semua warga Tionghoa diminta untuk mengganti nama. Beberapa pebulu tangkis pun mengganti namanya seperti Ang Tjin Siang menjadi Muljadi. Saya sendiri akhirnya harus mengganti nama saya," tutur Tan Joe Hok.
Tan Joe Hok mengalami pergulatan batin saat melakukan pemilihan nama pengganti bagi dirinya.
"Akhirnya saya memilih nama Hendra Kartanegara. Paling tidak masih ada kata 'Tan' nya," tutur Tan Joe Hok.
Namun menariknya, Tan Joe Hok justru mengaku sama sekali merasa tidak ada masalah dengan Presiden Soeharto yang merupakan penguasa Orde Baru.
"Pak Harto secara individu justru baik terhadap saya. Pernah saya sempat diminta pindah dari tempat tinggal saya di Semanggi. Saat itu saya langsung lapor Pak Harto dan akhirnya saya tidak jadi diusir," kata Tan Joe Hok.
"Saya juga bingung sebenarnya bagaimana menjelaskan soal diskriminasi itu. Karena bagi saya itu kental unsur politisnya," tuturnya menambahkan.
Para warga etnis Tionghoa juga harus mempunyai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Dalam kolom KTP warga etnis Tionghoa pun ada tanda yang membedakan mereka dengan warga negara Indonesia lainnya.
"Memang ada perbedaannya dan kami harus mengurus SBKRI tersebut lewat beberapa proses," ucap Christian Hadinata mengenang.
Tak Mengutarakan Keluh Kesah
Christian Hadinata adalah tokoh kunci supremasi bulu tangkis Indonesia di era 70-an atau era ketika Piala Thomas tak pernah lepas dari genggaman Indonesia.
"Arak-arakan selalu ramai menyambut kami setiap kami pulang. Bertemu Presiden pun menjadi hal yang lazim karena setiap pergi ke sebuah turnamen kami pasti pamitan ke Istana," tutur rekan duet Ade Chandra ini.
Meski punya kesempatan bertemu Presiden dalam beberapa momen, Christian sendiri memilih tidak mengutarakan keluh kesahnya.
"Kalau dipikir memang ada perbedaan perlakuan, namun saya tidak mau protes dan menjalani semua proses yang diminta pemerintah. Apapun yang diminta pemerintah saya lakukan," tutur Christian.
"Karena prinsip hidup saya adalah 'Jangan tanya apa yang negara berikan padamu, tetapi tanya apa yang bisa kamu berikan pada negaramu,' jadi saya tidak mau banyak tanya," kata pria asal Purwokerto ini menegaskan.
Manisnya prestasi pebulu tangkis etnis Tionghoa dari generasi ke generasi ternyata juga diiringi oleh perlakuan diskriminatif yang tetap setia menemani.
Ivana Lie menjadi korban diskriminasi di era 1980-an saat dirinya kesulitan mendapatkan identitas diri. Padahal, Ivana Lie sudah berkali-kali mengharumkan Indonesia di turnamen internasional.
"Saat itu saya jadi pelatih di pelatnas. Soal Ivana, dia selalu diberi semacam surat saat pergi keluar negeri namun kemudian surat itu ditarik kembali begitu ia kembali ke Indonesia," kata Tan Joe Hok.
Barulah setelah turun tangan banyak pihak kewarganegaraan Ivana menjadi jelas dan tidak terombang-ambing.
Turun tangan banyak pihak dan membuat kasus menjadi besar sepertinya juga menjadi solusi agar persoalan diskriminasi yang dialami oleh pebulu tangkis etnis Tionghoa.
Contoh lain ada pada kasus Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Semua bersorak meneriakkan nama Alan dan Susi dalam balutan seruan 'Hidup Indonesia!' saat mereka sukses membawa pulang medali emas dari Olimpiade Barcelona 1992, namun ternyata hal itu tidak cukup bagi mereka untuk mendapatkan kemudahan dalam mengurus dokumen.
"Saat saya ingin mengurus perizinan pernikahan, sulit sekali untuk mendapatkan SBKRI, padahal saya sudah bolak-balik pengadilan. Sebelumnya saya tidak begitu paham mengenai dokumen-dokumen seperti itu karena orang tua saya yang mengurus dan saya masih ikut dokumen mereka," ucap Susi bercerita.
"Saya jelas kecewa saat itu sampai-sampai saya berucap apakah saat memenangi emas Olimpiade, ada tanda SBKRI di belakang baju saya. Tidak kan? Hanya ada tulisan Indonesia," tuturnya mengenang.
Barulah ketika Susi bercerita ke media dan kasus itu diketahui banyak orang, pengurusan dokumen jadi cepat selesai.
"Setelah pemberitaan ramai, semua dokumen selesai kurang dari sebulan," tutur Susi.
"Saya tentu bingung dengan adanya kasus yang menimpa. Yang jelas saya lahir di Tasikmalaya, dari kecil di Indonesia dan sampai nanti pun tua di sini," kata Susi yang juga fasih berbahasa sunda ini seolah mewakili perasaan rekan-rekannya.
Di ambang pergantian Orde Baru ke Era Reformasi, kasus diskriminasi terhadap etnis tionghoa di dunia bulu tangkis pun masih terjadi.
Tong Sin Fu, pelatih pelatnas PBSI sejak era 80-an kesulitan mendapatkan kewarganegaraan Indonesia padahal dirinya lahir di Indonesia. Alhasil, Tong Sin Fu yang kecewa pun memilih pergi ke Tiongkok dan menjadi salah satu tokoh penting munculnya dominasi Tiongkok di dunia bulu tangkis pada era 2000-an.
Masuk ke era reformasi pun, kasus diskriminasi masih terjadi. Hendrawan yang merupakan juara dunia 2001 dan bagian penting dari Tim Piala Thomas Indonesia kesulitan untuk mendapatkan status WNI. Hal ini tentu mengundang keprihatinan banyak orang. Kasus baru selesai ketika Presiden turun tangan.
Hendra Setiawan, pebulu tangkis etnis Tionghoa yang saat ini menjadi tulang punggung bulu tangkis berharap ke depannya, tidak ada lagi cerita-cerita yang menyedihkan tersebut.
"Kita sama-sama bangsa Indonesia. Mari kita sama-sama bekerja keras mengharumkan nama bangsa tanpa membeda-bedakan," kata Hendra.
"Saya sama sekali tidak ada dendam terhadap apa yang terjadi pada saya dalam hidup ini. Saya tetap mencintai Indonesia," tutur Tan Joe Hok.
Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetap satu jua.
Etnis Tionghoa satu dari ribuan keragaman yang dimiliki Indonesia. Mereka adalah bagian dari Indonesia dan sejarah telah membuktikan bahwa mereka juga telah mengisi kemerdekaan dengan torehan-torehan prestasi yang mengagumkan.